Rapport di Kelasku

Hits: 129

 

Rapport di Kelasku
(Oleh Fefi Hartiningsih, Guru SMP N 8 Balikpapan)

Artikel 2 120722

Balikpapan - Di sebuah kelas, seorang guru membuka sebuah pembelajaran persis seperti rencana pembelajaran yang disusunnya. Pembelajaranpun sudah berjalan runut dan lancar sesuai skenario pembelajaran. Suasana terbangun kondusif,. Para peserta didik saling berinteraksi sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang tertulis. Tiba-tiba seorang peserta didik berkomentar nyaring di luar situasi yang diharapkan. Teman di sebelahnya merasa terganggu dan sedikit menimbulkan gaduh. Terpancing oleh suasana yang gaduh, sang guru menghampiri peserta didik yang berulah tadi dan menegur dengan nada tinggi. Alih-alih memulihkan keadaan, peserta didik yang berulah justru melemparkan buku pelajarannya kepada teman yang tadi diganggunya karena emosinya semakin meninggi. Hilanglah kondisi persuasif yang terbangun di awal pembelajaran.

 

Di sebuah kelas berbeda, seorang guru menghadapi situasi serupa. Bahkan lebih ekstrim karena salah seorang peserta didiknya tiba-tiba memukul teman di sebelahnya karena sang teman iseng mencoret-coret di buku catatannya. Guru tersebut tidak mengeluarkan suara nyaring atau bertindak intimidatif untuk meredam ulah peserta didiknya. Sebuah tepukan bersahabat dan kata-kata setengah bergurau mampu meredakan adrenalin sang peserta didik. Dia tahu gurunya tidak berkenan dengan sikapnya. Namun, guru dengan cara yang bersahabat, meminta padanya dengan isyarat tepukan di pundak dan kalimat yang tidak memancing, meminta secara tersirat agar dia menahan sikapnya yang dapat mengganggu suasana belajar di kelas. Respon positif guru atas sikap negatifnya dia respon positif pula. Dia menghentikan akting konyolnya dengan sukarela.

Seorang peneliti pendidikan, Robert Rosenthal, menyebut situasi itu dengan istilah Rapport. Rapport adalah terjalinnya hubungan harmonis dan pemahaman yang baik dengan orang lain. Dalam situasi ini adalah hubungan antara guru dan peserta didik. Terbangunnya Rapport antara guru dan peserta didik dapat menghilangkan istilah ‘murid nakal’, ‘murid bandel’ atau ‘murid tidak tahu aturan’. Mengapa demikian? Pemahaman yang baik terhadap peserta didik akan menimbulkan suatu perasaan yang nyaman, yang akrab tertuju kepada seseorang yang memiliki Rapport dengan kita.

Dalam hal ini, bukan berarti kita akan mentolerir segala perbuatan buruk dari seseorang, tetapi kita akan punya ‘jeda’ dalam ruang di hati kita untuk tidak langsung menyalahkan atau menghakimi seseorang atas ulah negatifnya. ‘Jeda berpikir’ itu sangat bermanfaat karena akan menghindarkan guru dari sikap terburu-buru menghakimi ulah tidak nyaman dari peserta didik dan menanggapi ulah peserta didik dengan kepala dingin. Penulis pernah mengikuti seminar dari Ustadz Fauzil Adhim tentang Rapport dalam menjalin hubungan lebih bermakna dengan peserta didik sama halnya dengan membuat peserta didik memberi kepercayaan terhadap guru. Situasi pembelajaran yang terbentuk dengan terbangunnya Rapport yang memadai akan berimbas pada mata pelajaran yang diampu oleh guru tersebut. Peserta didik akan memandang sisi baik dari guru dan mata pelajaranyang dipelajarinya.

Contoh penanganan sederhana yang penulis ceritakan dalam ilustrasi kedua di atas hanya dimungkinkan jika guru mengenal peserta didik secara dekat. Minimal mengenal keseharian peserta didik di sekolah, khususnya di kelas, mengenal sifat umum peserta didik yang diperlihatkannya saat berinteraksi dengan guru. Jadi jika pada satu situasi peserta didik tersebut melakukan sesuatu yang berbeda dengan kesehariannya dan cenderung menimbulkan hal yang tidak nyaman, guru tidak akan langsung berasumsi buruk. Guru akan memiliki pemikiran baik terhadap peserta didik pada tahap awal dia mendapati peserta didik melakukan hal yang tidak semestinya. Pemikiran baik itu muncul karena dia mengenal peserta didiknya. Hal itu akan mencegah guru untuk langsung menghakimi atau memberi sangsi atas suatu perbuatan yang tidak semestinya yang dilakukan peserta didik. Juga memberi ruang pada “pikiran” guru untuk merespon secara objektif.

Seorang guru yang sering mendengar cerita bahwa peserta didik tertentu melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan pada teman-temannya guru tersebut kemungkinan akan memiliki persepsi negatif terhadap peserta didik itu bahkan mungkin sebelum dia bertemu dengan yang bersangkutan. Yang terjadi akan berbeda jika guru tersebut telah membangun Rapport terhadap sang peserta didik. Dapat dikatakan bahwa meluangkan waktu untuk mengenal peserta didik dapat digolongkan sebagai waktu akademik. Semakin seorang guru mengenal peserta didiknya, semakin efektif guru tersebut terhadap apa yang diajarkannya. Guru tersebut dapat lebih fokus mengajar karena dia tidak memboroskan waktu mengajarnya untuk mengatasi ‘para pencari perhatian’.

Pada awal penulis menjalani profesi sebagai guru, banyak hal penulis hadapi dalam berinteraksi dengan peserta didik. Menerapkan secara teori mengajar secara baku yang penulis dapatkan di Perguruan Tinggi tidak serta merta mampu membuat peserta didik menyerap pelajaran dengan hasil yang memuaskan. Setelah berdiskusi dan meminta saran dari rekan-rekan guru yang senior penulis sadari ada kekurangan penulis dalam hal membangun hubungan hangat dengan peserta didik.

Sebagai kesimpulan, adalah sebuah tugas yang tidak ringan bagi guru untuk membangun kondisi belajar yang ‘berterima’. Menciptakan suasana yang ’mengalir’ sehingga skenario pembelajaran dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan. Hubungan harmonis yang terjalin atau Rapport dapat menjadi salah satu faktor yang memberi pengaruh baik pada pembelajaran di kelas.